Sindy yang masih berumur 21 tahun tidak menyadari bahaya nya bekerja sebagai kasir di sebuah toko serba ada yang beroperasi 24 jam di Bandung. Tapi karena semangat dan keinginan untuk mandiri membuat dirinya tidak mempedulikan nasehat orang tuanya yang merasa kuatir melihat putriya sering mendapat giliran jaga di malam hari hingga pagi hari.
Sindy lebih suka bekerja pada shift di jam tersebut, Karena dari saat tengah malam sampai pagi biasanya jarang sekali ada pembeli, sehingga Sindy bisa belajar untuk materi kuliahnya siang nanti. Sampai akhirnya pada suatu malam terjadilah pemerkosaan itu.
Sindy mendapati dirinya ditodong oleh sepucuk pistol tepat di depan matanya. Yang berambut Gondrong (sebut saja Dandi) , dan yang satu lagi tubuhnya Kurus (sebut saja si Hendri ). Mereka berdua, menerobos masuk membuat Sindy yang sedang berkonsentrasi pada bukunya terkejut.
“Keluarin uangnya cepet !” perintah si Dandi, sementara si Hendri memutuskan semua kabel video dan telepon yang ada di toko itu. Tangan Sindy gemetar berusaha membuka laci kasir yang ada di depannya, saking takutnya kunci itu sampai terjatuh beberapa kali. Setelah beberapa saat,
Sindy berhasil membuka laci itu dan memerikan semua uang yang ada di dalamnya, sebanyak 100 ribu kepada si Dandi, Sindy tidak diperkenankan menyimpan uang lebih dari 100 ribu di laci tersebut. Karena itu setiap kelebihannya langsung dimasukan ke lemari besi. Setelah si Dandi merampas uang itu, Sindy langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya lemas, hampir jatuh.
“Masa cuma segini?!” bentak si Dandi.
“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Sindy masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Sindy mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.
“Cepat!!!” bentak si Hendri,
Sindy merasakan pistol menempel di belakang kepalanya. Sindy berusaha untuk menjelaskan kalau ia tidak mengetahui nomor lemari besi itu. Untunglah, melihat mata Sindy yang ketakutan, mereka berdua percaya.
“Brengsek!!!! Nggak sebanding sama resikonya! Ayo…Iket dia, biar dia nggak bisa panggil polisi!!!” Sindy di dudukkan di kursi manajernya dengan tangan diikat ke belakang. Kemudian kedua kaki Sindy juga diikat ke kaki kursi yang ia duduki. si Hendri kemudian mengambil plester dan menempelkannya ke mulut Sindy.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu Hen! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.
“Aku pengen liat bentar aja!”.
Mata Sindy terbelalak ketika si Dandi mendekat dan menarik t-shirt merah muda yang ia kenakan. Dengan satu tarikan keras, t-shirt itu robek membuat BH-nya terlihat. Payudara Sindy yang berukuran sedang, bergoyang-goyang karena Sindy meronta-ronta dalam ikatannya.
“Wow, oke banget!” si Dandi berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Hendri, tidak begitu tertarik pada Sindy karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.
Tapi si Dandi tidak peduli, ia sekarang meraba-raba puting susu Sindy lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara Sindy. Dan tiba-tiba, dengan satu tarikan BH Sindy ditariknya, tubuh Sindy ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Sindy terputus dan sekarang payudara Sindy bergoyang bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.
“Jangan!” teriak Sindy. Tapi yang tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Sindy mulut si Dandi menghisapi puting susunya pertama yang kiri lalu sekarang pindah ke kanan. Kemudian Sindy menjerit ketika si Dandi mengigit puting susunya.
“diam! Jangan berisik!” si Dandi menampar Sindy, hingga berkunang-kunang. Sindy hanya bisa menangis.
“Aku bilang diam!”, Sambil berkata itu si Dandi menampar buah dada Sindy, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Sindy.
Kemudian si Dandi bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Sindy terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Dandi terus memukuli buah dada Sindy sampai akhirnya bulatan buah dada Sindy berwarna merah.
“Ayo, cepetan !”, si Hendri menarik tangan si Dandi.
“Kita musti cepet minggat dari sini!” Sindy bersyukur ketika melihat si Dandi diseret keluar ruangan oleh si Hendri.
Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Sindy bersyukur ia masih hidup. Melihat sekelilingnya, Sindy berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.
“Hey, Brooo! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok Banget lo, cepetan ambil bir tolol!”.
Tubuh Sindy menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko. Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yang ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 12 sampai 15 tahun. Sindy mengeluarkan suara minta tolong.
“ssssstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepetan kembaliin semua!”.
“Ayooo….lari, lari! Kita ketauan!”.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor manajer. Ia terperangah melihat Sindy, terikat di kursi, dengan t-shirt robek membuat buah dadanya mengacung ke arahnya.
“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
Sindy berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta tolong agar mereka memanggil polisi. Ia berusaha memohon agar mereka melepaskan dirinya dan menutupi dadanya. Tapi yang keluar hanya suara gumanan karena mulutnya masih tertutup plester.
Satu demi satu berandalan itu masuk ke dalam kantor. Satu, kemudian dua, lalu tiga. Empat. Lima! Lima wajah-wajah dengan senyum menyeringai sekarang mengamati tubuh Sindy, yang terus meronta-ronta berusaha menutupi tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yang berumur sekitar 15 tahun itu terkagum-kagum dengan penemuan mereka.
BACA JUGA : SENSASI BERCINTA DENGAN TANTE SEBELAH RUMAHKU
“Gila! Cewek nih!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana Aku pengen liat!”.
“Aku pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa yaaa?!”.
Mereka semua berkomentar bersamaan, kegirangan menemukan Sindy yang sudah terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Sindy, tangan-tangan meraih tubuh Sindy. Sindy tidak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas buah dadanya, menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik puting susunya. Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Sindy.
“Ayooo, kita lepasin dia dari kursi!” Mereka kemudian melepaskan ikatan pada kaki Sindy, tapi dengan tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan meremas tubuh Sindy. Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka menyeret Sindy keluar menuju bagian depan toko. Sindy meronta-ronta ketika merasa ada yang berusaha melepaskan kancing jeansnya.
Mereka menarik-narik celana jeans Sindy sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Sindy terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke lantai. Sebelum Sindy sempat membalikkan badannya, tiba-tiba terdengar suara lecutan, dan sesaat kemudian Sindy merasakan sakit yang amat sangat di pantatnya. Sindy melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke pantatnya!
“Hei….Bangun! Bangun!” ia berteriak. Sindy berusaha berguling melindungi pantatnya yang terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tidak peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yang sekarang menghajar perut Sindy.
“Bangun! naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yang ada di atas meja layan hingga berjatuhan ke lantai. Sindy berusaha bangun tapi tidak berhasil. Lagi, sebuah pukulan menghajar buah dadanya. Sindy berguling dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri. Berandal tadi memberikan ikat pinggang tadi kepada temannya. “Kalo dia gerak, pukul aja!”
Langsung saja Sindy mendapat pukulan di pantatnya. Berandal-berandal yang lain tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya, membuat ia bergerak-gerak sehingga mereka punya alasan lagi buat memukulnya. Berandal yang pertama tadi kembali dengan membawa segulung plester besar. Ia mendorong Sindy hingga berbaring telentang di atas meja.
Pertama ia melepaskan tangan Sindy kemudian langsung mengikatnya dengan plester di sudut-sudut meja, tangan Sindy sekarang terikat erat dengan plester sampai ke kaki meja. Selanjutnya ia melepaskan sepatu, jeans dan celana dalam Sindy dan mengikatkan kaki-kaki Sindy ke kaki-kaki meja lainnya. Sekarang Sindy berbaring telentang, telanjang bulat dengan tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.
“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata Sindy terbelalak melihat penisnya menggantung, setengah keras sepanjang 20 senti. Berandal tadi memegang pinggul Sindy dan menariknya hingga mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok penisnya hingga berdiri mengacung tegang.
“Waktunya masuk!” ia bersorak sementara teman-teman lainnya bersorak dan tertawa. Dengan satu dorongan keras, penisnya masuk ke vagina Sindy. Sindy melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, sementara berandal tadi mulai bergerak keluar masuk.
Temannya naik ke atas meja, menduduki dada Sindy, membuat Sindy sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya, mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. Plester di mulut Sindy ditariknya hingga lepas. Sindy berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung dimasuki oleh penis berandal yang ada di atasnya.
Langsung saja, penis tadi mengeras dan membesar bersamaan dengan keluar masuknya penis tadi di mulut Sindy. Pandangan Sindy langsung berkunang-kunang dan merasa akan pingsan, ketika tiba-tiba saja mulutnya dipenuhi cairan kental, yang terasa asin dan pahit sekali . Semprotan demi semprotan masuk ke mulut Sindy, tanpa bisa dimuntahkan lagi oleh Sindy. Ia terus menelan cairan tadi agar bisa terus bernafas.
Tiba-tiba saja Berandal yang duduk di atas dada Sindy turun, lalu berandal memasukkan penisnya ke vagina Sindy dan mendorong Sindy di pinggir meja lalu menggenjot memek Sindy Dengan tempo makin cepat. Ia juga memukuli perut Sindy, membuat Sindy mengejang dan vaginanya berkontraksi menjepit penisnya. Ia kemudian memegang buah dada Sindy sambil terus bergerak makin cepat, ia mengerang-erang mendekati klimaks.
Tangannya langsung meremas dan menarik buah dada Sindy ketika tubuhnya bergetar dan sperma tiba-tiba menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di vagina Sindy. Sedangkan berandal yang lainnya berdiri di samping meja dan melakukan masturbasi, Dan ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan jatuh di muka, rambut dan dada Sindy.
Beberapa saat berlalu dan Sindy tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan tokonya.
Sindy meronta-ronta membuat buah dadanya bergoyang-goyang. Ia menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yang mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Sindy berhasil melepaskan tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya. Tinggal satu lagi nih.
“Wah, wah, waaaaah!!!” terdengar suara laki-laki yang berdiri di pintu depan. Sindy sangat terkejut dan berusaha menutupi buah dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Sindy.
“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa Pak! Tolong saya Pak, cepat panggilkan polisi!”
“Nama lu Sindy kan?” tanya laki-laki tadi.
“Ba…bagaimana bapak tahu nama saya?” Sindy bingung dan takut.
“Aku Gilang. Orang yang dulunya kerja di toko ini sebelum kau rebut!”.
“Tapi saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahunya dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolonglah saya pak!”.
“Gara-gara kamu ngelamar ke sini Aku jadi dipecat! Aku nggak heran kamu diterima kalo liat bodi mu”.
Sindy kembali merasa ketakutan saat melihat Gilang, seseorang yang belum pernah dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya. Sindy kembali berusaha melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam. Ia menyambar tangan Sindy dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dengan plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, hingga Sindy betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Sindy kesakitan, ia menggeliat dan buah dadanya semakin membusung keluar.
“Lepaskannnn!! Sakittt!! adhh!! Saya tidak memecat kamu!!!! Tapi kenapa saya diikat ?!!”
“Sebenarnya Aku tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya Aku udah keduluan. Jadi baiknya Aku rusak aja deh nih toko”.
Ia kemudian melepaskan ikatan kaki Sindy sehingga sekarang Sindy duduk di pinggir meja dengan tangan terikat di belakang. Dan diikatnya lagi dengan plester.
Dan Gilang mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak ditendang jatuh. Lalu Gilang juga menghancurkan kotak pendingin es krim yang ada di kanan Sindy. Es krim beterbangan dilempar oleh Gilang. Beberapa di antaranya mengenai tubuh Sindy, kemudian meleleh mengalir turun, melewati punggungnya masuk ke belahan pantatnya.
Di depan, Es tadi mengalir melalui belahan buah dadanya, turun ke perut dan mengalir ke vagina Sindy. Rasa dingin langsung menempel di buah dada Sindy, membuat putingnya mengeras san mengacung. Ketika Gilang selesai, tubuh Sindy bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yang meleleh.
“Kamu keliatannya kedinginan!” ejek si Gilang sambil menyentil puting susu Sindy yang mengeras kaku.
“Aku harus ngasihh kamu sesuatu yang anget.”
Gilang kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yang ada di tengah ruangan. Sindy melihat Gilang mendekat membawa beberapa buah sosis yang berasap.
“Jaaaangaann!” Sindy berteriak ketika Gilang membuka bibir vaginanya dan memasukan satu sosis ke dalam vaginanya yang terasa dingin karena es tadi. Kemudian ia memasukan sosis yang kedua, dan ketiga. Sosis yang keempat putus ketika akan dimasukan. Vagina Sindy sekarang diisi oleh tiga buah sosis yang masih berasap. Sindy menangis karena kesakitan akibat uap panas dari sosis tersebut.
“Keliatannya nikmat Nih….Ha..Ha…!” Gilang tertawa.
“Tapi Aku lebih suka bermain dengan mustard!” Kemudian Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu.
Cairan mustard langsung keluar menyemprot ke vagina Sindy. Sindy menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.
Sambil tertawa Gilang melanjutkan usahanya dengan menghancurkan isi toko itu. Sindy berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya sangat tersengal-sengal, ia tidak kuat menahan semua ini. Tubuh Sindy bergerak lunglai jatuh.
“Hei!! Kamu kalo kerja jangan tidur!” bentak Gilang sambil menampar pipi Sindy.
Kamu tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”
Sindypun meronta ketakutan melihat Gilang yang memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan itu bergigi tajam dan jepitannya sangat keras sekali. Gilang segera mendekatkan satu jepitan ke puting susu kanan Sindy, menekannya hingga terbuka dan melepaskannya hingga menutup kembali menjepit puting susu Sindy.
Sindy menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke puting susunya. Kemudian Gilang juga menjepit puting susu yang ada di sebelah kiri. Air mata Sindy bercucuran di pipi.
Kemudian Gilang mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, lalu mengulurnya dan kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong Gilang hingga membuka keluar, Sindy merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat, dan membuat buah dadanya tertarik dan ia menjerit kesakitan.
“Nah…..,Hmmm… udah jadi. sekarang pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar, tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dengan cara ditarik bukan didorong. Jadi Aku sekarang pergi dulu, terus nanti Aku pasang biar pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik. Nanti kalo ada orang dateng, pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”
“Jaaaaaangan! saya mohoon! Jangan! jangan! jangan! ampun!
Gilangpun tidak peduli, ia keluar dan tidak lupa memasang kunci pada pintu itu hingga sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dengan ditarik. Sindypun menangis ketakutan, Dan puting susunya sudah hampir rata, dijepit. Ia terlihat meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan. Tubuh Sindy berkeringat setelah berusaha melepaskan diri tanpa hasil.
Beberapa saat kemudian terlihat sebuah bayangan di depan pintu, Sindy melihat ternyata bayangan itu milik gelandangan yang sering lewat dan meminta-minta. Gelandangan itu melihat tubuh Sindy, telanjang dengan buah dada mengacung. Segera saja Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tidak terbuka. Si Gelandangan langsung meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.
Sindy langsung menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya. Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Sindy menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.
Tapi Sindy tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir. Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir. Dan kakinya juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa kesakitan. Puting susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat sensitif. Udara dingin saja membuat puting susunya mengacung tegang.
Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan pinggulnya. Sindy merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan pantatnya dari belakang.
Sesuatu yang dingin dan keras berusaha masuk ke liang anusnya. Sindy menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.
“Ja…Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Habisnya pantat Mbak kan belom diituin.” gelandangan itu berkata tidak jelas.
“Jangaaaaan!” Sindy meronta, ketika penis si gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya.
Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anusnya Sindy. Lalu ia langsung berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Sindy.
Sindy menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai masuk dengan keadaan masih mempunyai tutup botol yang berpinggiran tajam. Liang anus Sindy tersayat-sayat ketika gelandangan tadi memutar-mutar botol dengan harapan liang anus Sindy bisa membesar.
Setelah beberapa Lama tiba-tiba gelandangan tadi mencabut botol tersebut. Tutup botol bir itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Sindy, tapi ia tidak peduli. Gelandang itu kembali berusaha memasukan penisnya ke dalam anus
Sindy yang sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir. Gelandangan tadi mulai bergerak kesenangan, rasanya sudah lama sekali ia tidak meniduri perempuan, ia bergerak cepat dan keras sehingga Sindy merasa dirinya akan terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju. Sindy terus menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yang mungkin membawa penyakit kelamin,
tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin cepat, tangannya meremas buah dada Sindy, membuat Sindy menjerit karena puting susunya yang terluka ikut diremas dan dipilih-pilin.
Akhirnya dengan satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Sindy merakan cairan hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk lemas di belakang Sindy.
“Makasih yaaa Mbak! Saya puas sekaliiiii! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan Sindy. Kemudian ia mendorong Sindy duduk dan kembali mengikat tangan Sindy ke belakang, kemudian mengikat kaki Sindy erat-erat. Kemudian tubuh Sindy didorongnya ke bawah meja kasir hingga tidak terlihat dari luar.
Sambi terus mengumam terima kasih Dan sigelandangan tadi berjalan sempoyongan sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko. Sindy terus saja menangis, merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari anusnya. Lama kemudian Sindy jatuh pingsan karena kelelahan dan shock Berat. Dan tersadar ketika Ia ditemukan oleh rekan kerjanya yang masuk pukul 7 pagi.