Namaku Denny. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku di sebuah kompleks perumahan di Jakarta. Di rumah itu, hanya ada kami bertiga, tapi suasananya terasa sepi. Mama dan Papa jarang ada di rumah, kecuali pada hari-hari tertentu. Mama sering pergi untuk arisan atau perawatan, sedangkan Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ada yang sedikit aneh Papa sering pulang di siang bolong setiap Mama sedang keluar。
Suatu hari, Papa pulang dari kantor bersama seorang wanita yang awalnya kukira Mama. Ternyata, itu Tante Vanii, adik Mama. Aku sering melihat Papa dan Tante Vanii berpelukan saat menonton TV. Kadang, tangan Papa nakal mengelus paha atau payudara Tante Vanii dengan penuh nafsu. Bagaimana aku tak tertarik? Tubuh Tante Vanii sangat menggoda payudaranya besar seolah ingin meledak, pinggangnya ramping, dan lekukan pantatnya begitu seksi.
Sejak Tante Vanii sering datang ke rumah, aku jadi sering membayangkannya saat masturbasi. Tiga bulan berlalu, Mama dan Papa bercerai karena kehadiran Tante Vanii. Akhirnya, Papa memberanikan diri mengajak Tante Vanii tinggal di rumah. Usianya sekitar 38 tahun, tubuhnya agak berisi, tapi wajahnya masih terlihat muda. Dia bekerja sebagai perancang busana artis.
Pada suatu hari Minggu, aku bangun dan menjalani rutinitas seperti biasa. Saat menuruni tangga dengan mata masih mengantuk, aku terbelalak melihat Tante Vanii. Dia sedang menyapu, mengenakan daster putih tipis tanpa celana dalam. Lekukan pantatnya yang besar dan vaginanya terlihat jelas. Kontolku langsung tegang.
“Eh? Kamu ngeliatin apa?” tanya Tante Vanii, membuatku tersentak.
“Ehm, nggak kok. Cuma lihat Tante lagi nyapu,” jawabku tergagap, padahal mataku tak lepas dari pantat dan gundukan vaginanya yang terlihat saat dia membungkuk.
“Kamu jangan nakal, ya. Tante ini ibu tirimu,” katanya, sepertinya tahu aku memperhatikan tubuhnya.
“Tante mirip bintang porno, hehe,” ujarku tanpa sengaja. “Tante udah masak belum?” tanyaku cepat untuk mengalihkan pembicaraan.
“Belum nih. Duduk dulu, ya. Nanti setelah nyapu, Tante masakin,” jawabnya sambil melanjutkan menyapu.
Aku berjalan ke kamar mandi. Di sana, aku langsung masturbasi. Kebetulan bra Tante Vanii ada di sana, jadi saat mencapai puncak, aku mengeluarkannya di bra-nya. Usai mandi, aku keluar hanya dengan handuk melilit pinggang dan menuju dapur. Di sana, aku disuguhi pemandangan yang lebih menggoda. Daster Tante Vanii tersingkap ke atas, memperlihatkan vagina dan lubang anusnya yang bersih.
Tanpa pikir panjang, kulepaskan handukku dan memeluknya dari belakang. Penisku yang sudah bebas kugesekkan di selangkangannya.
“Ih, kamu ngapain? Jangan perkosa Tante dong… Tante nggak tahanan orangnya” katanya, suaranya terdengar panik.
“Udah, nikmatin aja. Tante nggak cocok jadi istri Papa. Tante lebih cocok jadi milikku,” ujarku penuh hasrat.
“Kamu jangan nakal, sayang. Masa Tante harus begini sama kamu?” bisiknya pelan.
“Tante, aku udah terangsang banget lihat Tante. Puasin aku sekarang, aku nggak mau tahu. Atau aku paksa?” bisikku sambil melepas dasternya, tanganku mengelus pantat dan payudaranya dari belakang.
“Jangan kasar dong, sayang. Sakit, tahu,” pintanya sambil sedikit melengkungkan pantatnya.
Aku tak peduli omongannya. Aku terus mencumbunya. Aku tahu Tante Vanii sangat liar di ranjang, tapi saat ini dia belum sepenuhnya terangsang. Dia hanya butuh sedikit waktu untuk membangkitkan gairahnya. Kuciumi dan kujilati lehernya, tanganku meremas payudaranya dari belakang. Lalu, tanganku mulai mengusap vaginanya yang tebal, jari telunjukku memainkan klitorisnya hingga penisku semakin mengeras.
Tak sabar lagi, kupaksa dia menungging. Aku mulai memasukkan penisku dari belakang.
“Ough, jangan masukin, Den!” teriaknya.
“Nurut aja, Tan. Aku mau puas sama Tante. Aku tahu Tante liar di ranjang,” kataku sambil mendorong tubuhnya ke depan agar penisku masuk lebih dalam.
Aku merasa vaginanya masih agak kering—dia belum terlalu terangsang. Kucabut penisku, lalu berjongkok di belakang pantatnya, menjilati vaginanya dari bawah.
“Aah… kamu mau apain Tante?” tanyanya dengan suara khas wanita yang menahan nikmat.
Kujilati vaginanya, mencium aroma khas yang membangkitkan nafsuku. Dia mulai bernafsu—tak lagi berontak, bahkan mengangkat satu kakinya ke atas meja kompor, memberi ruang agar aku lebih leluasa menjilatnya. Akhirnya, dia pun terbawa hasrat.
“Sudahlah, kalau kamu mau nikmatin tubuhku, lakukan aja. Tapi Tante minta jangan sampai Papa tahu kita pernah begini. Kapanpun kamu mau, Tante kasih, asal jangan paksa, apalagi kalau Papa ada,” keluhnya.
Tante Vanii lalu membalikkan badan, duduk di atas meja kompor, membuka lebar pahanya, dan menyingkapkan kedua bibir vaginanya. Kini terlihat jelas vaginanya merah merekah, ditumbuhi bulu halus yang lebat. Tanpa ragu, aku berdiri dan memasukkan penisku ke dalam lubangnya.
Kurasakan vagina Tante Vanii sedikit basah, tapi sepertinya dia belum sepenuhnya terangsang dengan apa yang kulakukan tadi. Aku mencabut penisku, lalu berjongkok di belakang pantatnya, menjilati vaginanya dari bawah.
BACA JUGA : CERITA SEX SPG YANG MANIS
“Aahhh… kamu mau apa sama Tante?” tanyanya dengan nada khas wanita yang menahan kenikmatan.
Kujilati vaginanya, mencium aroma khas yang membangkitkan nafsuku. Aku merasa dia mulai terbawa hasrat—dia tak lagi melawan, bahkan mengangkat satu kakinya ke atas meja kompor, memberi ruang agar aku lebih leluasa menjilat. Akhirnya, dia pun tersulut gairah.
“Sudahlah, kalau kamu mau nikmati tubuhku, lakukan saja. Tapi Tante minta jangan sampai Papa tahu kita pernah begini. Kapan pun kamu mau, Tante kasih, asal jangan paksa, apalagi saat Papa ada,” ucapnya dengan nada pasrah.
Tante Vanii lalu membalikkan badan, duduk di atas meja kompor, membuka lebar pahanya, dan menyingkapkan kedua bibir vaginanya. Kini terlihat jelas—vaginanya merah merekah, ditumbuhi bulu halus yang lebat. Tanpa ragu, aku berdiri dan memasukkan penisku ke dalamnya.
“Ssstt… aaahhh… nikmatnya… penismu besar dan keras sekali, oughhh,” rintihnya keenakan.
Aku menggenjotnya semakin ganas. Hampir sepuluh menit berlalu, dan akhirnya dia mencapai orgasme. Tapi aku belum klimaks.
“Tante, aku belum keluar…” keluhku.
Seperti kelaparan, dia turun dari meja dan langsung menjilati penisku dengan liar. Dia benar-benar ahli—penisku hampir lenyap ditelannya. Tak lama, kutekan kepalanya dalam-dalam. “Oooohhh… Tanteee, aku keluaaarrr… aaahhh…” erangku. Aku memuntahkan semua spermaku ke tenggorokannya.
“Kita pindah ke kamar, Tan. Nggak seru di dapur,” ajakku.
Kugendong Tante ke kamarnya, lalu melanjutkan dengan memasukkan penisku lagi ke vaginanya. Dengan posisi aku di atas, kugoyang pinggulku kencang sambil meremas payudaranya, tak lupa memelintir putingnya yang sudah mengeras.
“Oughhh… aaahhh… sayang, kamu nakal banget… berani juga… aaahhh… macam memperkosa Tante,” godanya terbata-bata, karena sodokanku semakin kencang membuatnya mendesah nikmat.
“Lah, siapa suruh Tante bahenol begini? Siapa yang tahan kalau cuma berdua di rumah, apalagi Tante cuma pakai daster tanpa daleman? Pasti penisku ngaceng pengen masuk ke vagina Tante yang montok,” jawabku dengan nada sedikit kacau.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau kamu udah terangsang banget? Nggak perlu sampe perkosa Tante!”
“Yasudah, nikmati aja tubuh Tante sepuasmu, sayang. Tante rela kalau buat kamu,” ucapnya.
Kupercepat tusukanku hingga Tante orgasme untuk kedua kalinya. “Aaakhhh… sayanggg… Tante keluar lagi nih… aahhrhhh…” desahnya penuh kenikmatan.
Aku mengganti posisi—kini Tante di atas, aku di bawah. “Gantian, Tante yang puasin aku. Aku belum orgasme, nih.”
Tanpa buang waktu, Tante menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, cairan kewanitaannya masih membasahi. Lalu, dia beralih memompa penisku naik-turun. Kuseimbangkan dengan sodokan dari bawah, hingga terdengar suara “plak, pak, pok” dari pantat dan selangkanganku.
“Plak… pak… sayang, enakan? Emang kamu kuat kalau Tante giniin?” tanyanya sambil memperkuat hentakan.
“Aaaahhh… Tanteee… aku keluar!!” “Barengan ya, Tante juga mau keluar lagi.” “Aku keluarin di mana, Tan?” lirihku, karena pertahananku sudah jebol.
“Iya, sayang, keluarin di dalam aja. Taburin benihmu di rahim Tante,” pintanya.
“Aaaaghhhh… Tanteeeee… ssshtttt…” Desahan kami bercampur saat mencapai puncak bersama.
Penisku yang masih tertancap kubiarkan hingga mengecil sendiri. Setelah itu, kami tidur bagaikan suami-istri hingga pagi. Hubungan intim kami berlanjut bahkan setelah Tante Vanii jadi istri Papa. Karena puas denganku, Tante tak pernah menolak ajakanku bersetubuh.
