Dua tahun lalu, saat aku masih 22 tahun dan kuliah di tahun ketiga, ada momen seru yang nggak bakal aku lupain. Libur Natal datang, dan sepupu jauhku, Yuni, anak dari sepupu mamaku, main ke Jakarta dari Lampung. Dia datang buat hadir di undangan pernikahan sekaligus liburan. Yuni, yang dua tahun lebih muda dariku, saat itu masih kuliah tahun kedua di sebuah universitas swasta di Lampung.
Kami nggak ketemu selama hampir tujuh tahun, jadi pas jemput dia di bandara, aku agak kaget. Yuni yang dulu pemalu dan pendiam banget udah berubah jadi cewek yang super stylish dan menawan. Rambutnya panjang hitam mengkilap, kulitnya putih mulus, dan gayanya modis banget—bener-bener beda dari kenanganku waktu kecil!
Dia nyampe di Jakarta sekitar jam tujuh malam. Dari bandara, aku langsung ajak dia makan malam di kafe favoritku. Awalnya aku kira bakal awkward, soalnya dulu kami nggak terlalu dekat. Tapi ternyata, obrolan kami mengalir banget! Kami sama-sama cewek yang suka ngobrolin apa aja, dari fashion sampai kehidupan kampus. Rasanya kayak ketemu temen lama.
Besoknya, aku ajak Yuni keliling Jakarta. Kami mampir ke mall, nyobain makanan enak, dan bahkan ketemu temenku, Rere, sama pacarnya pas lagi shopping di Thamrin. Yuni ini bener-bener royal, lho! Belanjaannya banyak banget, semua branded, sampe aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil ketawa.
Malam harinya, kami dateng ke acara pernikahan di restoran mewah di Jakarta. Pulang dari sana, aku udah capek banget. Langsung deh, aku lepas gaun pesta, tinggal pakai celana dalam pink, dan selonjoran di kasur buat ngerelaksin badan. Yuni masih di kamar mandi, kayaknya agak mabok soalnya dia minum cukup banyak di acara tadi. Aku nebak dia mungkin lagi muntah-muntah di dalam.
“Yun, sekalian ambilin kaos aku di gantungan, dong!” pintaku pas dia keluar dari kamar mandi setelah 15 menit. Matanya sayu, entah gara-gara alkohol atau capek.
Dia kasih kaos itu, terus minta tolong buka kait gaun malamnya. Aku bantu lepasin resletingnya, dan dia langsung melepas gaun itu. Wow, dadanya montok banget, hampir sama kayak punyaku, cuma putingnya sedikit lebih kecil. Dia cuma pakai G-string, lalu jongkok di depan koper buat cari baju tidur.
“Apaan sih, Ci? Kok ngeliatin aku terus? Jangan-jangan kamu…?” katanya sambil nyengir, kayak ngeledek gitu.
“Yee, apa sih! Pikiranmu aja yang ngeres!” jawabku sambil ketawa ngakak.
Malam itu, kami lanjut ngobrol sambil rebahan di kasur. Dari topik fashion, kuliah, sampe urusan cinta dan yang lebih… personal. Obrolan kami seru banget, sampe lupa waktu. Apalagi pas aku ceritain pengalaman liar soal kehidupan cintaku, Yuni kaget sekaligus antusias banget. Dia kayaknya juga ikut kebawa suasana, dan kami cuma ketawa-ketawa sampe larut malam.
Saat gilirannya bercerita, suasana tiba-tiba berubah jadi serius. Dia mulai membuka cerita tentang pertengkaran hebat dengan pacarnya yang ketahuan selingkuh dengan perempuan lain. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami apa yang dia rasakan. Matanya mulai berkaca-kaca, dan tak lama kemudian, setetes air mata mengalir dari matanya yang sipit. Dia memeluk bantal di sofa, lalu menangis tersedu-sedu di baliknya.
Sebagai sesama perempuan yang pernah merasakan pengkhianatan, aku bisa merasakan luka di hatinya. Aku mendekat, memeluknya pelan, dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya. “Sudah, jangan terlalu sedih,” kataku lembut sambil menawarkan segelas air putih. Aku berusaha menghiburnya agar dia tidak tenggelam dalam kesedihan.
Beberapa saat kemudian, tangisnya mulai reda, meski masih sesekali tersedu. Dia menoleh ke arahku, suaranya pelan. “Ci, tadi kamu bilang pernah bikin video pribadi, kan?”
Aku mengangguk, sedikit bingung. “Iya, kenapa?”
“Boleh nggak aku lihat? Hitung-hitung buat ngalihin pikiran, deh. Boleh, ya?” pintanya dengan nada setengah memaksa.
Aku langsung merasa risih. “Hah? Sekarang? Ya ampun, itu kan video pribadi, Yun…” Aku mencoba menolak, tapi dia terus mendesak. Akhirnya, karena kami sama-sama perempuan dan dia terlihat sangat penasaran, aku menyerah. Aku menyalakan komputer di kamar, mengambil VCD dari lemari, dan memutarnya. Yuni jadi orang pertama di luar lingkaran temen dekatku yang melihat video itu.
Di layar, terlihat adegan-adegan yang cukup intens dari masa laluku. Aku sendiri merasa jantungku berdegup kencang, apalagi Yuni yang sesekali terkikik atau menggoda. “Hihi, malu-malu tapi mau, ya!” katanya sambil nyengir. Aku cuma nyubit lengannya kecil sebagai balasan.
Setelah video selesai, suasana jadi agak canggung. Yuni tiba-tiba bilang, “Ci, aku juga pengin bikin video kayak gitu. Kayaknya seru, deh, buat ngebales mantan.”
Aku langsung kaget. “Hah? Jangan macam-macam, Yun! Nanti malah dibilang aku yang ngajarin kamu hal aneh, dosa tahu!” kataku, setengah bercanda.
Tapi Yuni ngotot. “AYunih, Ci. Aku cuma pengin ngebales dia aja. Lagipula, aku juga udah nggak polos-polos amat, kok. Katanya Napoleon aja balas dendam pas istrinya selingkuh, ini cuma buat keadilan!” katanya dengan gaya sok bijak.
Aku cuma geleng-geleng kepala. “Napoleon aja dibawa-bawa. Terus, kalau bikin, sama siapa? Cowoknya mana?”
“Dengan penjaga villa kamu aja, Ci. Masih kerja di sana, kan? Aku penasaran, pengin coba sesuatu yang beda,” katanya sambil nyengir.
Karena dia terus memaksa dan sepertinya serius, aku akhirnya setuju, meski dengan berat hati. Lagipula, aku sendiri sudah lama nggak ke villa, jadi sekalian mampir. Aku tahu Pak Andri dan Tardi, penjaga di sana, pasti senang kalau ada tamu.
Kami tidur sekitar tengah malam dan bangun jam delapan pagi. Setelah sarapan, kami packing barang dan pamit ke mama, bilang mau ke villa. Aku pakai atasan merah model halter neck yang santai, dipadukan dengan celana pendek jeans ketat. Yuni pakai dress mini yang pendek di atas lutut, rambut panjangnya dijepit ke belakang dengan jepit Tare Panda yang lucu. Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam sepuluh pagi dan sampai di villa sekitar jam satu siang, untungnya jalanan nggak terlalu macet karena bukan hari libur.
Saat hampir sampai, aku memastikan sekali lagi. “Yun, kamu yakin? Masih bisa mundur sekarang, lho. Kalau udah kejadian, aku nggak bisa bantu apa-apa lagi.”
Dia mengangguk mantap. “Aku siap, Ci. Aku juga pengin tahu rasanya.”
Sesampainya di villa, Pak Andri menyambut kami dengan senyum lebar. “Wah, Neng Cinta, lama banget nggak ke sini! Bapak kangen, nih,” katanya ramah.
“Iya, Pak, sibuk banget di Jakarta. Oh ya, ini sepupu saya, Yuni,” kataku memperkenalkan. Yuni tersenyum kecil sambil mengangguk ke arah Pak Andri.
Sambil Yuni membawa tas ke kamar, Pak Andri mendekat dan berbisik, “Neng, Neng Yuni ini boleh diajak main nggak? Gemesin banget, sih.”
Aku cuma nyengir. “Duh, Bapak, baru dateng udah mikir gitu. Tenang, dia sendiri yang minta, kok. Malah pengin direkam, tapi buat koleksi pribadi, ya, Pak.”
Pak Andri langsung sumringah, tapi aku buru-buru menahannya. “Sabar, Pak, kami lapar nih. Makan siang dulu, sekalian siapin nasi. Ini ada ayam goreng buat Bapak juga,” kataku sambil menyerahkan sekotak KFC.
“Oh ya, Tardi ada, nggak? Mau ajak dia juga,” tanyaku.
“Kurang tahu, Neng. Coba telepon dulu,” jawab Pak Andri.
Aku lalu menelepon Tardi, penjaga villa tetangga. Setelah beberapa kali dering, dia mengangkat. “Halo, siapa ini?” Aku memastikan suaranya, lalu mengajaknya ke villa dan menjelaskan rencana. Dia antusias, tapi bilang cuma bisa hari ini karena besok majikannya datang.
Setelah telepon ditutup, Yuni muncul dari kamar. “Lama banget, Ci, ngapain sih? Ayo makan, lapar nih!”
“Duh, tadi ke WC bentar, perutku nggak enak,” katanya sambil cengengesan.
Aku usul makan di taman belakang dekat kolam renang, biar suasananya santai. Pak Andri kusetel tikar, kayak piknik. Pas kami lagi beres-beres, bel pintu berbunyi. “Itu pasti Tardi,” pikirku. Aku minta Pak Andri lanjut beresin, sementara aku ke depan buka pintu.
Benar saja, Tardi sudah berdiri di depan pintu. Begitu pintu kututup, dia langsung memelukku erat, tangannya meraba punggungku sampai ke bawah. Kami berciuman sekilas, seperti sepasang kekasih yang lama nggak ketemu. Tapi, kekasih? Nggak lah, cuma temen dekat, kok!
“Eh, jangan dulu, deh. Aku laper, mau makan dulu. Sekalian kenalin kamu sama sepupuku, yuk!” kataku sambil melepaskan pelukannya sebelum dia kelewatan dan mulai menarik celanaku.
“Hehe, kangen banget sama kamu, apalagi sekarang makin cantik sama rambut begini,” ujarnya, memuji rambutku yang kini lebih panjang sampai menyentuh bahu dan kembali kuhitamkan. Aku menyerahkan piring serta sendok garpu padanya, lalu mengajaknya ke taman. Di sana, Pak Andri dan Yuni juga sedang asyik menyendok nasi dan ayam goreng ke piring mereka. Kami makan dengan santai, suasana semakin ramai dengan candaan nakal mereka. Bahkan, aku sempat tersedak karena ketawa terlalu keras. Tardi buru-buru menepuk punggungku untuk menenangkan, tapi ujung-ujungnya malah meremasi dadaku.
BACA JUGA : KISAH SEX KUBERSAMA PRIA CHINA
“Apa sih, pegang-pegang! Malah bikin tambah tersedak!” protesku sambil menepis tangannya. Yuni, yang awalnya agak kaku, mulai terbiasa dengan suasana seru ini. Dia bahkan mulai berani menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh dari mereka.
“Paha yang itu, Pak, habisin aja!” canda Tardi. “Paha? Mana paha?” sahutnya pura-pura bodoh sambil tangannya meraih pahaku. Cepat-cepat kutepis tangannya, dan semua langsung tergelak. Setelah selesai makan, sekitar lima belas menit kemudian, kusuruh Pak Andri dan Tardi membereskan piring dan mencuci peralatan makan, sekalian menunggu makanan di perut turun.
“Udah nggak risih lagi, kan? Habis ini kita mulai, siap?” tanyaku pada Yuni.
“Siapa takut! Lagian, aku seneng banget bisa balas dendam sama si brengsek itu. Biar dia tahu cewek juga bisa main di belakang, apalagi aku sama orang yang nggak pernah dia sangka,” jawab Yuni penuh semangat.
“Lihat, mereka udah selesai. Waktunya mulai!” kataku saat melihat Pak Andri dan Tardi keluar dari dapur.
“Pak Andri, tolong ambil handycam di meja dalam!” Pak Andri masuk lagi dan kembali dengan handycam. Kami duduk melingkar di atas tikar, dan aku mulai memberi instruksi layaknya sutradara. Kuperjelas ke mereka berdua untuk tidak menyentuhku selama aku merekam, supaya hasilnya bagus dan tidak goyang seperti rekaman amatir.
Setelah semua siap, mereka berdua mendekat ke Yuni. Aku perhatikan Yuni agak tegang.
“Santai aja, nanti juga seru kok,” ujarku menenangkan. Aku menyalakan kamera, dan tanpa perlu disuruh, mereka sudah mulai beraksi. Pak Andri meletakkan tangannya di paha Yuni yang sedang duduk bersimpuh, meraba perlahan sambil sedikit menyingkap roknya. Di sisi lain, Tardi meremas dadanya, sepertinya agak keras karena Yuni meringis sambil mendesah panjang. Lidah Tardi menelusuri leher Yuni, naik ke telinga, lalu menyapu wajah mulusnya.
Tangan Pak Andri kini meluncur ke dalam rok Yuni yang sudah tersingkap, meraba area sensitifnya yang masih tertutup celana dalam putih tipis, memperlihatkan sedikit bayangan bulu. Pria kurus itu juga membuka ritsleting celananya, memperlihatkan dirinya yang sudah tegang, lalu menggenggam tangan Yuni dan memintanya untuk menggerakkan tangannya.
Tardi memagut bibir mungil Yuni dengan penuh gairah, mereka berciuman panas, lidah mereka saling menari dan beradu. Sambil terus mencium, Tardi menurunkan resleting di punggung Yuni, lalu perlahan menarik bajunya dari bahu. Ia memberi isyarat pada Pak Andri untuk melakukan hal yang sama di sisi kiri. Tak lama, mereka juga melepas bra Yuni, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.
Payudara Yuni kini terekspos, dan Pak Andri tak membuang waktu. Ia langsung melahap sisi kiri dengan penuh semangat, pipinya sampai kempis karena hisapannya yang kuat. Aku mendekatkan handycam, memastikan momen ini terekam dengan jelas. “Gimana, Pak? Enak nggak?” tanyaku sambil terus merekam. “Wah, ini baru mantap, Neng!” jawabnya singkat, lalu kembali melanjutkan aksinya sambil tangannya menjelajahi punggung Yuni dan area sensitif lainnya.
Tardi masih asyik mencium Yuni, lidahnya menjelajahi setiap sudut mulutnya. Yuni pun tak kalah liar, membalas dengan penuh semangat. Jempol Tardi menggesek puting Yuni, kadang mencubit dan memelintirnya perlahan. Di sisi lain, Yuni semakin bersemangat menggerakkan tangannya pada Pak Andri, sampai akhirnya pria itu memintanya berhenti agar tidak terlalu cepat selesai.
Pak Andri lalu meminta Yuni merunduk, posisinya kini setengah berbaring ke samping, dan mulai melayaninya dengan mulut. Dengan penuh antusias, Yuni menjilati bagian sensitifnya, dari bawah hingga ke atas, dengan gerakan yang terampil. Ia sengaja menggoda ujungnya dengan lidah sebelum mengulumnya sebentar. Pak Andri sampai mengerang keenakan, tangannya tak henti meremasi payudara Yuni yang bergoyang.
Sementara itu, Tardi menarik rok Yuni hingga lepas, diikuti celana dalamnya. Setelah Yuni telanjang, Tardi juga melepaskan bajunya sendiri. Jarinya mulai menjelajahi area intim Yuni, membuatnya semakin basah. Cairan yang keluar membasahi jarinya, dan Yuni mendesah di sela-sela aksinya, “Engh… uh… uhh!”
Lalu, Pak Andri berbaring di tikar dan meminta Yuni naik ke wajahnya, sepertinya ingin menjelajahi area intimnya dengan lidah. Sekarang giliran Tardi yang mendapat perhatian. Penisnya, yang lebih besar dan berurat, digerakkan oleh tangan Yuni sambil ia terus melayani Pak Andri. Yuni dengan lihai menggunakan lidahnya, membuat Tardi njem patut untuk Yuni, yang sedang sibuk, membuat Tardi mengerang nikmat. “Ayo, Neng, masukin dong, jangan cuma gitu doang!” kata Tardi sambil mendorong dirinya lebih dalam ke mulut Yuni. Yuni terkejut, matanya membelalak karena sesak, mencoba melepaskan diri, tapi tangan kuat Tardi menahan kepalanya dengan erat.
“Tar, udah dong, kasihan! Nanti dia sesak napas, tahu nggak punyamu gede!” bujukku, berharap Tardi memberi Yuni sedikit ruang untuk bernapas. “Eh, Neng Yuni kelihatan enjoy kok, lihat nih!” sahut Tardi sambil menunjuk Yuni, yang kini justru menggerakkan kepalanya maju-mundur dengan semangat, meski tangan Tardi masih memegang kepalanya erat, tak membiarkannya lepas.
Aku mendekatkan handycam ke wajah Yuni, yang sedang asyik melayani Tardi. Mulutnya penuh, hanya desahan pelan yang terdengar. Lalu, aku mengarahkan kamera ke bawah, menangkap momen Pak Andri yang sedang menjelajahi area intim Yuni dengan lidahnya. Ia menyapu perlahan, tangan kanannya mengelus pantat dan paha mulus Yuni, sementara tangan kirinya meraih payudaranya, memijat dengan lembut.
Ekspresi nikmat Yuni terlihat dari gerakan pinggulnya yang meliuk-liuk. Lidah Pak Andri semakin dalam, dua jarinya membuka area sensitifnya, lalu ia menjelajahi lebih intens. Area itu kini basah, campuran cairan alami Yuni dan ludah Pak Andri. Meski aku sendiri mulai terbawa suasana, tanganku sesekali meremas dadaku dan merasakan kelembapan di area intimku, aku tetap fokus merekam.
“Emm… emm… ahh!” desah Yuni dengan mata setengah terpejam, tangannya meremasi rambut Pak Andri di bawahnya. Cairan bening mengalir, membasahi area intimnya dan wajah Pak Andri. Ia terus mendekat, menghabiskan waktu sekitar lima menit untuk menjelajahi dengan penuh semangat. Tubuh Yuni bergoyang hebat, dan ia semakin antusias melayani Tardi dengan mulutnya.
Setelah puas, Pak Andri mengeluarkan kepalanya dari bawah Yuni. Ia duduk, lalu mengangkat Yuni ke pangkuannya. Satu tangannya membuka area intim Yuni lebar-lebar, sementara tangan lainnya mengarahkan dirinya untuk masuk. Tardi cukup pengertian, membiarkan Yuni melepaskan dirinya sejenak untuk menyesuaikan posisi. Yuni perlahan menurunkan tubuhnya, membiarkan Pak Andri masuk, diiringi erangan panjang dari keduanya. Pak Andri juga melenguh, merasakan kepadatan yang nikmat.
Aku mendekatkan kamera ke area intim mereka, memastikan adegan itu terekam jelas dalam close-up. Yuni mulai bergerak naik-turun, payudaranya diremas dari belakang oleh Pak Andri. Tardi tak mau ketinggalan, kembali menawarkan dirinya ke mulut Yuni, yang langsung disambut dengan jilatan dan hisapan penuh semangat. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Tardi dan Andri sudah mengerang tak terkendali, tangannya menekan kepala Yuni. “Hmmph… ohh… keluar, Neng!” erangnya panjang, penuh kepuasan.
